Meria
kembali menutup tirai jendela kamar rapat-rapat dan meringkuk di atas tempat
tidur sambil menutup tubuh hingga kepalanya dengan selimut tebal. Hari itu
cuaca cerah, dan untuk sebuah kota tempat tinggal Meria yang bersuhu tinggi
tidak ada alasan untuk merasa kedinginan. Begitu juga dengan hari-hari sebelum
dan sesudahnya selalu dengan cuaca yang relatif panas. Namun yang dialami Meria
selama seminggu terakhir ini bukan karena sakit lantas dia bergumal dengan
selimutnya.
Matahari
yang baru saja tenggelam dan memancarkan langit kemerahan pertanda akan
datangnya petang itu membuat tubuh Meria bergetar. Dia merasa ada gemuruh di
dalam batinnya yang begitu enggan menatap langit kala itu. Melihat kemerahan
langit itu seakan iya kembali terkoyak dengan tatapan kosong serta darah yang
mengalir dari kepala sahabatnya. Maria semakin meringkuk dan mendekap kaki
dengan kedua tangannya.
Teringat
sore itu bersama sahabatnya, Meria mengendarai motor bebek miliknya seusai berenang.
Dia terlihat senang karena bisa menghabiskan waktu liburan itu bersama sahabat
yang selalu menemaninya sejak SMP. Namun tanpa disadari sebelumnya, Meria
menyimpan sedikit iri di sisi hatinya. Kedengkian Meria semakin terasa ketika
kelebihan yang dimiliki sahabatnya membuat hati Meria geram karena tidak ia
miliki kelebihan itu.
Meria
yang sebelumnya tidak pernah mempermasalahkan perbedaan rupanya menyimpan
pemikiran hal yang berbeda. Sore itu selama perjalanan pulang, banyak kata-kata
yang tidak pernah terpikir akan diucapkan Meria pada sahabatnya.
“Juli, kau selalu terlihat lebih cantik
ya dibanding aku.” Ucap Meria sambil tertawa kecil.
“Bicaramu aneh, semua wanita itu sama
cantiknya.” Jawab Juli.
“Tapi tidak semua wanita seberuntung
kamu yang memiliki wajah cantik, tubuh langsing, orangtua kaya raya dan kekasih
yang begitu sempurna dimata wanita manapun di dunia ini.” Tambah Meria
“Kau ini bicara apa Meria, itu terlalu
berlebihan.” Sahut Juli
“Sudahlah jangan kau menjadi wanita
munafik, Juli. Kau tentunya berbangga memiliki semua itu, dibanding aku wanita
jelek, gendut dan hanya bisa mengajakmu dengan motor butut ini, juga tidak ada
lelaki yang mau denganku.” Ucap Meria
“Bicaramu ngaco, Meria. Sudahlah tidak
usah membahas hal semacam itu. Kita ini sahabat dan aku tidak pernah memandang
perbedaan apapun diantara kita.” Ucap Juli dengan nada malas
“Tentu saja karena dengan bersahabat
denganku pasti orang-orang akan melihat jelas perbedaan antara angsa dan itik
buruk rupa.” Sindir Meria
“Kamu ini kenapa, Meria?” Tanya Juli
mulai heran
“Sudahlah Juli, kau tak perlu
berpura-pura polos dan baik denganku.” Bentak Meria
“Hey Meria, kau jangan bercanda disaat
menyetir.” Ucap Juli mencoba membuang
pikiran buruknya
“Kau itu wanita sempurna, Juli. Dan
pertemanan ini pastinya hanya alibi untuk membuat orang-orang itu melihat jelas
kesempurnaanmu lewat perbedaan kita bukan?” Ucap Meria sambil terkekeh parau
“Tidak ada wanita yang sempurna, Meria.
Kita semua sama dimata tuhan. Kau jangan pernah berfikiran seperti itu.” Ucap
Juli mencoba tenang
“Kau tidak perlu berpura-pura baik untuk
menyenangkanku, Juli. Aku tau sebenarnya kau itu busuk. Kesempurnaan yang kau
miliki itu bisa saja hilang. Sedikit saja wajahmu tergores maka kau tidak akan
cantik lagi.” Ucap Meria sinis
“Apa kau bilang? Apa sebenarnya yang ada
dalam pikiranmu? Kau tidak seperti sahabat yang aku kenal.” Juli mulai geram
dengan nada bicara yang meningkat
“Kau itu wanita munafik, Meria. Tidak
mungkin kau berteman tulis denganku yang tidak sebanding denganmu.” Ucap Meria
“Jangan katakan kau iri padaku, Meria.
Aku sama sekali tak pernah merasa lebih dibanding siapapun. Kau jangan berfikir
macam-macam. Aku ini tulus jadi sahabatmu, Meria.” Jawab Juli
Kedua
sahabat itu mulai beradu mulut. Kedengkian Meria semakin memuncak karena
menaggap sahabat yang lebih sempurna darinya itu hanya berpura-pura baik. Meria
kehilangan kendali pikirannya dan berkeinginan membuat sahabatnya itu tidak
sesempurna saat ini. Meria tidak mengendarai motornya dengan baik, ia tidak melihat
ada lubang jalan dihadapannya. Seketika motor Meria terantuk dan terjatuh.
Meria terjatuh ke arah trotoar sedangkan naas bagi sahabat yang diboncenginya
itu tersuruk ke kanan jalan dan dari arah belakang ada mobil angkutan umum yang
melaju kencang kemudian menabraknya hingga terpental.
Meria
yang setengah sadar ternganga dengan wajah pucat melihat kejadian di depan
matanya. Sahabatnya terbaring dengan luka parah dan darah yang terus mengalir
mengalir dari kepalanya. Mungkin kepala yang helmnya telah terlepas itu
terpentok mobil dan trotoar. Beberapa menit kemudian mulai banyak orang-orang
yang mengerubungi mereka. Meria begitu terkejut hingga tidak mampu menggerakan
tubuhnya. Mereka kemudian dibawa ke rumah sakit terdekat oleh warga sekitar
jalan itu.
Samar-samar
Meria melihat matahari terbenam dengan langit yang kemerahan diatas tubuh
sahabatnya yang tergeletak di sisi jalan itu. Dia tidak sanggup melihat betapa
mengenaskan kondisi Juli dengan wajah yang penuh darah. Kemudian Meria tidak
sadarkan diri.
Hampir
satu jam Meria tidak sadarkan diri dan terbaring di rumah sakit. Saat ia
membuka mata terlihat ibu dengan mengenakan daster dan rambut yang dicepol
berantakan itu menangis memegangi tangannya.
“Alhamdulillah Meria, kau sudah sadar.”
Ucap ibu
“Dimana Juli, Bu ?“
Tanya Meria dengan suara parau
“Juli sudah tidak ada,
sayang. Relakanlah dia.” Jawab ibu dengan terisak
Meria berteriak-teriak tidak percaya dan
terus menyebut nama Juli. Air matanya meluap dan ada perasaan seperti benda
yang dihantamkan ke dadanya. Meria terus menangis dan merengek ingin bertemu
sahabatnya. Meria yang hanya terluka ringan di siku dan lututnya langsung
berlari ke tempat yang ditunjukkan ibu.
Sampai di ruangan itu Meria mematung.
Wajahnya lebih pucat lagi. Matanya nanar melihat seseorang yang terbaring dan
ditutup kain di atas tempat tidur. Dia masih tidak percaya kalau sahabatnya itu
sudah tidak bernyawa. Dengan seluruh tubuh yang bergetar, Meria membuka
perlahan kain itu perlahan untuk memastikan. Kali ini seperti ada yang menusuk
kepalanya, Meria limbung saking terkejutnya. Tubuh Meria seakan tidak begitu
lemas dan tidak mampu digerakkan. Sekelebat matanya melihat kegelapan.
Sahabatnya sungguh telah tiada. Meria kembali tidak sadarkan diri.
Hari-hari Meria kini dibayangi rasa
bersalah yang dalam. Dia benar-benar telah menghilangkan segala kesempurnaan
sahabatnya. Tidak ada lagi seseorang yang menjadi pembanding dirinya. Tapi
penyesalannya sungguh melebihi apapun. Rasanya kehilangan itu ternyata
memengaruhi keadaan jiwanya. Hidupnya tidak lagi merasakan tenang dan bahagia.
Sepanjang hari hanya menangis meratapi kesalahannya. Dan begitu menakutkannya
langit kala rembang petang. Waktu matahari terbenam dan memantulkan warna kemerahan
di langit dan awan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar