“Kakak?”
“Ya
dik.”
“Tidak
terasa ya sebentar lagi aku melahirkan.”
“Iya,
kita pasti akan punya anak yang cantik seperti kamu.”
“Dan
kalau laki-laki pasti tampan seperti ayahnya.”
Suamiku
hanya tersenyum.
“Kakak?”
“Ya.”
“Ingat
tidak siapa yang datang waktu aku mengenalkan calon suami pilihanku?”
“Tetanggamu
kan.”
“Iya,
tetanggamu juga.”
Dan
kami berdua tertawa bahagia bersama.
Cerita
ini memang tidak pernah aku lupa. Aku dan suamiku tadinya adalah tetangga sejak
kecil. Dan sejak aku remaja aku sangat menyukainya. Aku ini orang yang sangat
pemalu sehingga aku tak pernah mengungkapkannya.
Dia
memang lebih tua dariku. Waktu kecil kami sering bermain bersama. Tapi saat
remaja kami tak pernah lagi bermain. Kami sibuk dengan urusan masing-masing.
Aku sangat mengaguminya. Wajahnya yang rupawan dan kepandaiannya yang
mengesankan membuat aku tertarik. Namun benar-benar disayangkan waktu itu kami
tak pernah berbicara bahkan sekedar bertegur sapa sekalipun. Dia memang orang yang
agak cuek dan aku begitu malu ingin menyapanya. Jangankan menyapa, saat tidak
sengaja bertatapan dengannya saja wajahku langsung memerah.
Dulu
itu aku baru masuk SMA dan dia baru saja lulus SMA. Aku selalu memandanginya
lewat jendela kamarku. Benar-benar konyol. Dan kesedihanku hadir karena aku
tidak akan melihatnya lagi. Dia melanjutkan kuliah di Bandung. Sejak saat itu
aku hanya bisa membayankan dan bermimpi tentangnya saja.
Tiga
tahun berlalu dan aku lulus SMA. Aku kemudian melanjutkan kuliah di Jogja.
Lagi-lagi aku tidak pernah bertemu dengannya. Aku dengar kabar dia melanjutkan
lagi kuliah di Semarang. Sungguh menyedihkan.
Saat
aku kuliah, aku putuskan untuk tidak memikirkannya lagi. Aku hanya memikirkan
nilai mata kuliahku dan belajar dengan sungguh-sungguh agar cepat menyelesaikan
kuliahku dengan tepat waktu. Dan benar saja, empat tahun berlalu dan aku tidak
pernah mengingatnya. Bahkan bisa dibilang aku telah melupakannya.
Setelah
aku jadi sarjana dan mendapat pekerjaan. Hari-hari berlalu dengan cepat. Dan
bisa dibilang aku sudah dewasa. Ini yang tidak aku suka. Orang tuaku
menginginkan agar aku cepat menikah. Tentu saja aku panik. Aku tidak punya
kekasih. Siapa yang akan menikahiku. Benar-benar payah. Temanku memang banyak
tetapi tak satupun yang aku cintai untuk jadi kekasih ataupun suamiku.
Sudah
setahun lebih aku bekerja. Suatu hari teman sekantorku akan menikah. Beberapa
bulan sebelum menikah, dia memintaku menemaninya menemui seorang arsitek yang
nanti akan merancang sebuah rumah untuknya. Tentu aku tidak menolak. Lagi pula
tidak ada salahnya aku berbaik hati hanya sekedar menemani temanku yang akan
berbahagia.
Di
sebuah café mungil yang indah. Malam hari dengan suasana terang lilin dan
lantunan musik lembut serta aroma harum bunga. Disana aku dan temanku menunggu.
Dan beberapa menit kemudian seorang pria dengan badan yang tinggi dan
berpakaian rapi datang menghampiri kami dengan membawa gulungan kertas besar.
“Permisi,
apa benar ini pak Andre?” laki-laki itu berkata kepada temanku.
“Benar,
silakkan duduk pak Hairil.”
Mendengar
Andre mengucap nama Hairil hatikku tersentak. Nama yang sepertinya tidak asing
bagiku. Dan aku terkejut saat lelaki itu duduk di hadapanku. Aroma parfumnya
yang maskulin terasa menyejukkan penciumanku. Aku mengamatinya. Wajahnya
ternyata benar-benar ku kenal. Gayanya yang agak cuek lebih meyakinkanku lagi.
Oh Tuhan, dia tetanggaku waktu kecil. Kini dia talah menjadi seorang
arsitektur.
Lelaki
itu mungkin sadar aku mengamatinya. Kemudian dia menatapku dan bertanya.
“Anda
calon istri pak Andre?”
“Bukan
Pak, dia rekan kerja saya.” Pertanyaan itu di jawab oleh Andre.
“Sepertinya
saya mengenal anda.” Ucap Hiril.
“Benarkah?”
tanyaku.
“Benar,
anda mengingatkan saya pada tetangga saya waktu kecil.” Jawab Hairil.
“Mungkin
tidak salah lagi, kita memang pernah jadi tetangga.” Ucapku sambil tersenyum.
Dan Hairil juga ikut tersenyum. Rupanya dia tidak sedingin dulu. Dan akupun
telah belajar untuk tidak menjadi pemalu.
Setelah
perbincangan singkat itu Hairil kembali ke Andre dan memperlihatkan hasil
kerjanya. Selama mereka bicara aku hanya memandangi Hairil sambil tersenyum
saat dia melihatku.
Pertemuan
itu berakhir. Tapi ternyata hubungan aku dan Hairil tidak berakhir. Kami saling
bertelepon atau menrencanakan pertemuan untuk sekedar mengobrol dan makan atau
menonton. Ternyata kami nyambung dan sangat asik. Aku sangat bahagia saat itu
kami menjadi sangat akrab. Hingga suatu hari Hairil mengajakku bertemu di café
tempat waktu itu kami bertemu.
Ada
yang berbeda waktu itu. Pengunjung café itu hanya kami berdua. Dan hanya meja
tempat kami makan yang menyala dengan lilin yang begitu indah. Setelah selesai
makan dan mengobrol sebentar, Hairil mengambil sesuatu dari kantung celananya.
Dia memberikannya padaku. Oh Tuhan, itu sebuah cincin yang sangat indah.
“Rani,
maukah kamu menikah denganku?” tanya Hairil dengan suara yang begitu perlahan
dan menyejukan hatiku.
Aku
terdiam sebentar. Masih merasa tak percaya.
“Apa
kau tidak bercanda Hairil?” tanyaku ragu.
“Aku
sungguh-sungguh Rani, jujur sejak dulu aku menyukaimu. Sejak kita masih
tetangga, tapi aku malu sekali saat menyadarinya. Dan sekarang kita sudah akrab
dan aku tidak mau kehilangan kamu lagi karena sampai sekarang perasaan aku
padamu ternyata tidak berubah. Aku masih saja menyukaimu. Bahkan sekarang aku
sangat mencintaimu.” Jawab Hairil dengan sungguh-sungguh.
Aku
benar-benar bahagia mendengarnya dan hanya bisa diam.
“Rani?”
Suara Hairil menyadarkanku.
“Hairil,
aku juga mencintaimu sejak dulu. Aku mau menikah denganmu.” Jawabku perlahan.
Dan kami berdua tersenyum bahagia.
Beberapa
hari kemudian kami merencanakan pertemuan orang tua kami untuk mengenalkan
calon pendamping hidup kami. Benar saja orang tua kami sangat terkejut dan
tidak menyangka. Tapi orang tua kami sangat akrab dan bertetangga dengan baik.
Tentu saja mereka setuju dengan pilihan kami. Pertemuan itu sangat hangat dan
membahagiakan.
Satu
bulan berlalu. Tiba hari pernikahan kita. Benar-benar hari bahagia. Semua
orangpun turut berbahagia bersama kami. Oh Tuhan, terima kasih atas nikmat yang
Kau berikan.
Membayangkan
semua itu sungguh sangat membahagiakan. Sesuatu yang indah itu memang datang
pada akhirnya. Kini tiga tahun sudah kita menjadi suami istri yang begitu
bahagia. Dan beberapa saat lagi aku akan menjadi seorang ibu. Dan rumah sakit
ini yang menjadi tempat bersejarah itu.
Bayangan
itu memang sangat indah. Tapi apa yang terjadi sekarang, mengapa perutku begitu
sakit. Apa bayi mungilku akan segera lahir. Aku merintih kesakitan dan suamiku
memanggilkan dokter. Benar ini saatnya aku berjuang untuk anakku.
Dengan
segala kekuatan yang kumiliki aku berusaha untuk melahirkan anakku. Dan
kekuatan itu bertambah karena ada Hairil disampingku. Dia menggenggam tanganku
dengan wajah yang penuh kekhawatiran. Suara tangis bayi terdengar. Dan wajah
Hairil begitu bahagia.
“Sayang,
anak kita laki-laki.” Ucap Hairil sambil menggendong anak kami dan
memperlihatkannya padaku.
“Dia
mirip sekali denganmu.” Ucapku sambil tersenyum.
Tapi
apa ini, oh Tuhan mengapa perutku masih sakit dan darah terus saja keluar
dengan deras. Suamiku panik dan meletakkan bayinya di sampingku. Dia meminta
dokter memeriksaku. Dan aku meminta Hairil dan bayiku tetap berada di
sampingku.
“Aku
sangat bahagia Hairil.” Ucapku pada Hairil sambil tersenyum.
Tapi
Hairil tidak membalas senyumku dan malah menangis sambil memintaku untuk
bertahan. Aku tak mengerti. Kemudian aku mencium bayiku sambil menutup mata.
Dan ternyata Tuhan tidak mengijinkan aku membuka mataku lagi. Itulah terakhir
kalinya aku melihat Hairil dan bayi mungilku.