Namaku Galih. Aku adalah kepala polisi di daerah ini. Sudah sebulan ini aku
dipusingkan oleh kejadian yang aneh. Tiga mayat laki-laki ditemukan dengan
kondisi yang mengenaskan. Mayat-mayat ditemukan tanpa pakaian atas dan kedua
bola matanya hilang. Mayat pertama ditemukan warga di pinggir sungai dan sudah
diketahui identitasnya. Dia adalah seorang pengusaha muda yang cukup tampan.
Menurut keluarga dan kerabatnya, mayat yang diketahui bernama Galang itu adalah
pemuda yang baik dan tidak memiliki musuh. Tapi ada salah satu teman yang
paling dekat dengannya mengatakan bahwa Galang pernah bercerita kalau dia
sedang dekat dengan seorang gadis yang entah siapa. Mungkin itu bisa menjadi
keterangan yang berarti, namun sulit diterima logika jika seorang gadis yang
melakukan hal keji seperti itu.
Korban kedua ditemukan di sekitar alang-alang sebelah lapangan yang memang
jarang dipakai dan dilalui warga. Kondisinya sama seperti mayat sebelumnya
yaitu tanpa pakaian atas dan tanpa kedua bola matanya. Tapi si pembunuh kali
ini seakan mempermainkan kami penyidik kepolisian. Dia menempelkan kartu tanda
pengenal korban di dada mayatnya itu. Benar-benar perbuatan keji. Leleki korban
kedua ini adalah seorang model majalah yang cukup terkenal. Dari keterangan
keluarga dan kerabatnya juga mengatakan bahwa korban bernama Lihan tidak pernah
bermasalah dengan siapapun. Dan terakhir kali sebelum dia menghilang, selesai
melakukan pemotretan dia menerima telepon yang sepertinya dari seorang wanita
kemudian dia langsung bergegas pergi.
Korban ketiga sampai saat ini belum diketahui identitasnya. Kali ini si
pembunuh tidak menyisakan tanda pengenal korban sama sekali. Dia ditemukan
warga di semak-semak dekat taman bermain anak-anak. Dengan kondisi yang sama
seperti dua korban sebelumnya tentu saja kami yakin bahwa yang membunuh mereka
adalah orang yang sama. Aku benar-benar tidak ingin ada korban selanjutnya.
Sebagai kepala polisi tentu aku bertanggung jawab untuk menyelidiki kasus ini.
Kabar berita tentang kejadian ini sudah tersebar luas dan membuat panik warga.
Benar-benar suatu tugas yang paling berat selama aku menjabat jadi seorang
kepala polisi.
Malam ini aku menghabiskan waktu di kantor, sementara yang lain pulang
kerumah masing-masing. Aku sadar kalau di rumahkupun ada seorang isteri yang
menungguku, tapi sebisa mungkin telah aku rayu agar dia hanya ditemani adikku
dirumah karena aku masih ingin menyelidiki kasus ini. Diruanganku yang tak
seberapa luas aku berfikir sendirian. Suasananya begitu sepi. polisi lain
memang ada juga yang mendapat piket malam, tetapi sepertinya mereka sedang asik
menonton televisi.
Di atas meja kantorku terdapat bingkai foto isteriku. Aku memandanginya dan
teringat masa lalu tentang mantan kekasihku. Dulu aku begitu mencintainya, tapi
aku harus merelakannya untuk wanita pilihan orang tuaku yang kini adalah
isteriku. Di ruangan ini pun penuh kenangan, Maila mantan kekasihku itu pernah
memberku kejutan dengan datang dan membawakan hadiah saat hari ulang tahunku yang
waktu itu bahkan aku sendiri tak mengingatnya. Sebuah buku tantang fenomena
aurora di langit dia bingkai dengan sangat cantik. Hingga kini aku masih
menyimpannya. Perlahan aku buka laci mejaku dan aku temukan kotak hadiah itu.
Aku buka dan ternyata isinya pun masih utuh. Sebuah buku dan sepucuk surat.
Surat itu aku baca lagi dan aku pahami isinya .
Percayakah kamu kalu aku pernah melihat aurora sungguhan?
Benar-benar indah dengan warna-warni yang terlukis di langit
Tapi taukah kamu?
Bagiku itu belum seberapa kalau aku bandingkan dengan kerlingan matamu
Berkedip perlahan dengan bola mata yang begitu indah,
berbinar dan serasi berada di wajahmu
Tatapan yang kian hari membuat getaran dalam hati ini terasa menyesakkan
Membuat aku tidak pernah ingin kehilanganmu
meski sekedar hanya dalam pikiran atau bunga tidurku.
Maila
Kata-katanya benar-benar indah. Maila bilang, dia sangat mengagumi bola
mataku. Dia begitu bahagia jika aku menatapnya. Bicara tentang mata, aku jadi teringat
lagi pada mayat-mayat itu. Menyedihkan dengan keadaan tanpa bola mata. Seketika
terlintas juga di fikiranku, tampat-tempat ditemukannya mayat itu juga
sepertinya tidak asing. Korban pertama di pinggir sungai itu tempatnya sama
seperti saat pertama kali aku bertemu dan berkenalan dengan Maila. Kemudian
korban kedua di alang-alang itu seperti tempat aku berkencan dengan Maila dan
kita menjadi sepasang kekasih. Terakhir tempat korban ketiga di dekat taman
bermain itu saat terakhir aku bertemu Maila dan mengatakan bahwa aku akan
menikah dengan wanita lain.
Aku terkejut dengan pikiranku sendiri. Ditambah lagi kata pertama nama kedua
korban itu jika digabungkan seperti namaku. Korban pertama yang bernama GALang
dan kedua bernama LIHan. Menjadi GALIH. Tuhan, ini tidak mungkin. Aku tidak
percaya. Apakah mayat-mayat itu sebuah pesan untukku. Aku benar-benar gelisah.
Jantungku berdebarnya makin kuat dan nafasku seolah terhalang karena terlalu
takut. Kemudian tanpa pikir panjang, aku langsung bergegas pergi ke tampat
Maila.
Saat itu sudah pukul 2 dini hari. Maila tinggal di sebuah rumah kontrakan
sendirian. Aku langsung menghampiri rumah itu setelah turun dari mobil yang
kukendarai. Aku coba mengetuk pintu kamarnya namun tidak ada jawaban. Aku kesal
dan mencoba membuka pintu itu. Dan ternyata tidak terkunci. Aku masuk dan
mencari Maila sambil memanggil namanya. Terdengar suara musik dari sebuah
kamar, aku lalu menghampiri dan membuka pintu kamar itu. Maila ada disana. Dia
sedang duduk di depan cermin sambil menyisir rambut dan bernyanyi-nyanyi kecil.
“Akhirnya kau datang, Galih.” Ucap Maila
Aku tersentak, Maila mengetahui kalau aku yang datang.
“Aku sudah lama menunggumu, Galih. Tentunya pesan-pesan yang aku kirimkan
untukmu bisa kau pahami. Aku yakin kalau kau ini kepala polisi yang hebat.”
Ucap Maila dengan nada yang begitu tenang
“Apa maksudmu, Maila?” tanyaku masih bingung
“Kau tentu tau maksudku, Galih. Aku hanya ingin bertemu denganmu.” Kata
Maila
“Jadi benar kau yang membunuh mereka?” tanyaku dengan sedikit gemetar tidak
percaya dengan yang terfikir saat itu.
“Tidak. Aku hanya inginkan bola mata mereka, tetapi tidak ada yang seindah
milikmu, Galih.” Ucap Maila dengan nada yang masih tenang
“Kau gila, Maila!” ucapku kesal
“Aku memang tergila-gila padamu, Galih. Aku rindu kau menatapku dengan
senyum dan tatapan dari bola matamu yang indah itu.” Ucap Maila dengan nada
yang mulai getir
“Tapi bukan begini caranya. Kau telah membunuh mereka, Maila. Apa kau tidak
kasihan pada mereka?” tanyaku dengan sikap setenang mungkin
“Untuk apa aku mengasihani mereka? Kaupun tidak pernah kasihan padaku.”
Bentak Maila
Sebisa mungkin aku bersikap tenang.
“Maafkan aku, Maila. Aku tidak berniat menyakitimu.” Ucapku mencoba
meyakinkan Maila
“Bohong! Kau itu jahat, Galih. Kalau kau tidak mau menyakitiku harusnya kau
tidak menikahi wanita lain.” Maila mulai marah
“Sungguh aku minta maaf, Maila. Aku sangat mencintaimu, tapi aku tidak punya
pilihan lain.” Ucapku menenangkan Maila
“Aku tidak percaya, kau hanya mempermainkanku dan kemudian meninggalkanku,
padahal aku sangat mencintaimu hingga aku telah berikan semuanya untukmu bahkan
kehormatanku.” Maila mulai menangis
“Sungguh aku tidak berbohong, Maila. Aku juga sangat mencintaimu. Maafkan aku,
Maila. Kita bisa bicarakan ini baik-baik.” Ucapku
“Untuk apa kita bicara baik-baik? Semuanya sudah terlambat. Ini adalah
pertemuan terakhir kita.” Ucap Maila
Aku tidak sadar sedari tadi Maila menggenggam pistol di tangannya. Pistol
itu langsung ia tembakkan ke dadanya. Aku benar-benar terkejut melihat kejadian
ini. Aku langsung mendekati Maila yang terkapar beberapa meter dariku. Hatiku
begitu terpukul. Berkali-kali aku mengatakan bahwa aku benar-benar mencintai
Maila disaat maut sedang menghampirinya. Dan aku selalu ingat kat-kata terakhir
yang keluar dari mulutnya.
“Aku bahagia dapat menatap matamu disaat terakhirku, Galih. Aku bukan orang
jahat, aku ingin mataku ini kau donorkan pada orang yang tidak bisa melihat
indahnya dunia ini. Aku mencintaimu, Galih.” Dan nafas terakhirpun ia
hembuskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar